Oleh USEP SETIAWAN
Baca Juga:
Prabowo Tinjau Langsung Panen Padi di Merauke
DI pengujung 2021, pemerintah tengah memperkuat kebijakan reforma agraria nasional, di antaranya melalui perubahan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 Reforma Agraria.
Penting didengar aneka masukan cerdik-cendekia dari berbagai kampus dan pegiat dari beragam organisasi.
Baca Juga:
Dinas Pertanian Kubu Raya Rencanakan Penanaman Padi 69.462 Ton Tahun 2024
Hemat penulis, penguatan kelembagaan reforma agraria harus jadi prioritas.
Perpres Nomor 86/2018 mengandung dua lembaga, yakni Tim Reforma Agraria (TRA) Pusat yang diketuai Menko Bidang Perekonomian, dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang diketuai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Dalam hal ini, TRA Pusat sebagai lembaga pengarah, dan GTRA menjadi pelaksana.
Beberapa pihak menilai dua lembaga ini kurang efektif.
Ke depan, presiden disarankan menjadi penanggung jawab reforma agraria.
Ini penting dieksplisitkan agar menjadi kekuatan lebih bagi jajaran birokrasi.
Desain idealnya, pengarah adalah lembaga kepresidenan dan para menteri koordinator dan anggota pengarah terdiri dari para menteri yang terkait langsung dengan program reforma agraria.
Adapun kepemimpinan GTRA disarankan kolektif, yakni lembaga kepresidenan, kementerian kehutanan dan kementerian agraria.
Anggotanya diisi pejabat kementerian/lembaga terkait ditopang Project Management Office untuk operasional sehari-hari.
Selesaikan Konflik
Agenda penyelesaian sengketa dan konflik agraria menjadi hal utama.
Salah satu tugas GTRA Pusat, provinsi dan kabupaten/kota adalah menyelesaikan konflik agraria.
Pendekatan yang disarankan adalah proses penyelesaian alternatif seperti mediasi berjenjang dari kabupaten/kota.
Kalau tidak selesai, naik ke provinsi, dan/atau terakhir ke pusat.
Jenis sengketa dan konflik agraria yang diselesaikan GTRA mencakup yang berada di dalam kawasan hutan ataupun di luar kawasan hutan.
Pendekatan dalam penyelesaiannya bersifat mediasi di luar jalur pengadilan dengan menimbang faktor sosio-historis dan sosio-antropologis untuk mencari titik temu antar para pihak.
Warga masyarakat yang terkait perlu dilibatkan dalam seluruh proses penyelesaian konflik agraria.
Hasil penyelesaian yang diputuskan GTRA bersifat final dan mengikat para pihak, yang dituangkan dalam berita acara khusus.
Terkait subyek reforma agraria disarankan untuk dibuat skala prioritas.
Petani miskin, buruh tani, petani penggarap, petani gurem dan masyarakat adat layak menjadi subyek utama.
Subyek dengan profesi lain, bisa mendapatkan tanah dan sertifikatnya sepanjang subyek utama ini sudah mendapatkan haknya.
Para subyek reforma agraria didorong berorganisasi dalam serikat petani, koperasi atau badan usaha milik tani.
Selain untuk konsolidasi subyek yang akan mempersulit lepasnya pemilikan tanah, juga guna memudahkan pemberdayaan ekonomi masyarakat lebih lanjut.
Tanah obyek reforma agraria yang diredistribusi yang berasal dari pelepasan atau dari penataan batas kawasan hutan disarankan menjadi obyek utama.
Tanah yang berasal dari pelepasan aset negara atau penghapusbukuan aset negara juga menjadi obyek utama reforma agraria.
Tanah-tanah negara yang sudah diduduki, dikuasai, dan dimanfaatkan masyarakat sejak bertahun-tahun dapat menjadi obyek utama.
Penyelesaiaan konflik agraria di dalam kawasan hutan maupun areal BUMN perlu dipercepat.
Tanah yang dikuasai Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB) yang penerbitannya menurut GTRA bermasalah, juga menjadi obyek utama reforma agraria.
Peran organisasi masyarakat sipil yang mendampingi rakyat harus diperkuat.
Merujuk pengalaman kerja bersama dalam Tim Kerja 2021, disarankan peran organisasi masyarakat sipil ditingkatkan.
Peran serta masyarakat dalam Perpres Nomor 86/2018 penting dalam semua tahap reforma agraria.
Misalnya, organisasi masyarakat sipil penting dalam penyerahan data usulan lokasi prioritas yang berada di basis organisasi tersebut.
Juga pembahasan skala prioritas penyelesaian masalah di lokasi-lokasi prioritas yang diusulkan.
Keterlibatan organisasi masyarakat sipil sangat penting dalam rapat-rapat koordinasi strategis dan teknis yang membahas skenario penyelesaian masalah di lokasi-lokasi yang disepakati.
Demikian halnya dalam peninjauan lapangan, dilakukan bersama, antara tim GTRA dengan pengurus organisasi masyarakat sipil.
Perpres Jadi PP
Jenis hak kepemilikan tanah obyek reforma agraria (TORA), selama ini diberikan berupa hak kepemilikan individu atau hak kepemilikan bersama.
Jenis hak milik individual atau pribadi dalam bentuk sertifikat hak milik biasanya diberikan bagi permukiman atau rumah pribadi para subyek reforma agraria.
Sementara hak kepemilikan bersama, kolektif atau komunal untuk lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan atau usaha lainnya.
Juga bisa untuk tanah yang dipakai sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial, seperti tempat ibadah, sekolah, puskemas, olahraga dan lainnya.
Selain menyusun daftar nama subyek, GTRA hendaknya memfasilitasi pelembagaan masyarakat sebagai pemilik tanah secara bersama.
Penentuan areal yang ditetapkan sebagai milik bersama dilakukan melalui musyawarah subyek reforma agraria yang difasilitasi GTRA dan didampingi organisasi masyarakat sipil pendampingnya.
Adapun posisi dan status Perpres 86/2018 perlu ditingkatkan.
Mengingat urgensi substansi yang dikandung Perpres 86/2018, juga untuk harmonisasi dengan berbagai regulasi terkait lainnya.
Hal ini juga guna memastikan program reforma agraria bersambung terus dengan agenda pemerintahan pasca-Pemilu 2024, siapa pun presidennya.
Sejumput harapan ini perlu ditransformasi menjadi kebijakan reforma agraria baru yang lebih utuh dan kokoh untuk memastikan keadilan agraria mewujud. (Usep Setiawan, Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden Republik Indonesia)-as
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Memperkuat Reforma Agraria”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/12/03/memperkuat-reforma-agraria.