WahanaNews-Kalsel | Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi, mengatakan, amendemen konstitusi kelima merupakan solusi terhadap penyelamatan Republik ini dari penguatan ketatanegaraan melalui bahaya oligarki politik, oligarki ekonomi, dan oligarki hukum.
Menurut Fachrul, amendemen yang hendak dilakukan harus tetap berpedoman pada politik hukum yang dijadikan sebagai penuntun arah perubahan.
Baca Juga:
Netanyahu Resmi Jadi Buronan Setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
“Kita negara hukum, bukan negara kekuasaan," kata dia.
Hal itu disampaikan Fachrul Razi saat menjadi pemateri pada Focus Group Discussion “Amendemen ke-5 UUD 1945: Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Membuka Peluang Calon Presiden Perseorangan” di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Rabu (27/10/2021).
Senator asal Aceh ini menyampaikan UUD 1945 tidak kedap dari pengaruh kondisi dan situasi ketatanegaraan serta kebutuhan masyarakat saat itu.
Baca Juga:
Polisi Tembak Polisi di Solok Selatan, Kasus Masih dalam Penyelidikan
“Pembentuk UUD 1945 membuka kemungkinan dilakukannya perubahan konstitusi ketika kondisi ketatanegaraan menghendakinya, sebagaimana diatur dalam pasal 37 UUD 1945,” kata Fachrul Razi.
“Ada empat agenda prioritas yakni revitalisasi pokok-pokok haluan negara, penataan kewenangan MPR RI, penataan kewenangan DPD RI dan penataan sistem presidensial,” kata dia.
Agenda lainnya, menurut Fachrul Razi adalah penataan kekuasaan kehakiman, penataan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Dia mengatakan penguatan DPD RI itu dimaksudkan sebagai penyeimbang.
Apalagi, sistem presidensial yang dianut saat ini, namun dalam praktiknya setengah presidensial, setengah parlementarian.
“Kami mencoba mengembalikan proses demokratisasi sebagaimana sumbernya yakni Pancasila. Begitu juga dengan ekonomi, katanya ekonomi Pancasila tapi praktiknya kapitalistik," papar dia.
Senator asal Lampung, Bustami Zainuddin, menjelaskan, ada dua hal penting yang menjadi sorotan, yakni penguatan kelembagaan DPD RI dan ambang batas pencalonan presiden.
Dia menjelaskan, penataan kewenangan DPD RI amat dimungkinkan, mengingat individu yang tergabung di dalamnya adalah murni keterwakilan rakyat di daerah.
“Kami ini dipilih langsung oleh masyarakat di daerah. Maka dari itu, penting kiranya kita bicara Amendemen ke-5 Konstitusi sebagai koreksi atas arah perjalanan bangsa,” ujar Bustami.
Pengamat Politik dari FISIP Universitas Tanjungpura Pontianak, Dr Jumadi, menegaskan jika saat ini merupakan momentum tepat untuk memperkuat posisi kelembagaan DPD RI.
Menurut Jumadi, dari hasil empat kali amendemen yang sudah dilakukan, sistem ketatanegaraan Indonesia lebih mengarah pada sistem parlemen ketimbang presidensial.
“Dalam banyak kasus di negara-negara yang mengombinasi sistem presidensial dengan multipartai, itu pasti menjadi masalah. Kita juga mengalami itu. Lalu apa masalahnya? Masalahnya adalah Presidential Threshold (PT) atau ambang batas pencalonan Presiden," ujar dia.
Untuk itu, Jumadi menilai penting kiranya bagi kita untuk meninjau kembali Presidential Treshold.
Dalam konteks itulah, menurutnya wacana amendemen ke-5 Konstitusi penting untuk digulirkan.
“Upaya mendorong perubahan itu menjadi penting untuk meminimalisasi dominasi oligarki," tegasnya.
Dia percaya calon presiden perseorangan dapat diimplementasikan dengan baik.
"Buktinya praktik elektoral di tingkat lokal tidak menimbulkan masalah. Apakah kita pernah dengar ketika calon independen terpilih lalu hal itu jadi masalah? Kan tidak. Jadi, Presidential Trehsold ini memang sudah sepatutnya dikoreksi," kata dia.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menilai Presidential Threshold terbaik adalah 0 persen, sehingga semua partai peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan capres dan cawapres.
Dengan banyaknya kandidat tentu saja makin besar peluang menghasilkan pemimpin berkualitas.
“Saya mengajak insan kampus untuk memantik diskusi konstitusi agar pada akhirnya pemerintah dan DPR RI serius membahas dan menakar Presidential Threshold secara rasional. Nah daripada menunggu pembahasan itu, DPD memilih gerak cepat dengan safari konstitusi di beberapa kampus di Indonesia. Agar rakyat tidak dihadapkan pada dua pilihan sehingga demokrasi makin sehat,” katanya.
LaNyalla menegaskan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden tidak ada dalam konstitusi.
Yang ada adalah ambang batas keterpilihan presiden.
“Beberapa waktu lalu saya membuka FGD di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dari tiga narasumber dalam FGD itu, semuanya mengatakan dalam konstitusi yang ada adalah ambang batas keterpilihan, bukan ambang batas pencalonan,” katanya.
Hadir pada kesempatan itu sejumlah Senator, di antaranya Fachrul Razi (Aceh), Bustami Zainuddin (Lampung), Andi Muhammad Ihsan (Sulsel), Erlinawati Nasir dan Sukiryanto (Kalbar).
Hadir pula sejumlah universitas di Kalimantan Barat, di antaranya IKIP PGRI Pontianak, Universitas Tanjungpura, IAIS Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas, Bupati Sambas, Ketua DPRD Sambas, Forkopimda dan sejumlah tamu undangan lainnya. [non]