WahanaNews-Kalsel | Ada gula ada semut. Pepatah ini begitu pas menggambarkan keberadaan lokasi tambang emas ilegal di Desa Bulu Kuning, Kecamatan Sungai Durian, Kabupaten Kotabaru.
Meski lokasi terpencil dan sangat berbahaya, asa mendapatkan emas meniadakan kendala jarak dan risiko yang setiap saat mengancam nyawa ribuan penambang.
Baca Juga:
BPBD Kabupaten Solok Konfirmasi 15 Orang Tewas Akibat Longsor Eks Tambang Emas
Hingga pada akhir September 2022, sejumlah pejuang nafkah keluarga itu meninggal dunia akibat tertimbun tanah di lokasi tambang emas ilegal.
Dalam insiden tersebut, sembilan orang ditemukan meninggal dan dua korban belum diketahui nasibnya karena hingga kini masih belum ditemukan.
Selain korban meninggal dunia, tanah longsor akibat curah hujan tinggi tersebut juga menyebabkan enam pekerja ditemukan dalam kondisi luka berat dan ringan.
Baca Juga:
Sebongkah Harapan Gadis Yatim Piatu Melihat Kembali Indahnya Dunia
Para pekerja tertimbun tanah akibat longsor dan banjir di Desa Bulu Kuning, Provinsi Kalimantan Selatan, yang terjadi pada 26 September lalu. Ini adalah peristiwa kali kedua.
Tanah longsor pertama terjadi di lokasi sama pada tahun 2018, yang merenggut lima nyawa.
Peristiwa serupa juga terjadi pada 2020 di areal tambang emas ilegal di Puncak atau Gunung Putri di Desa Bulu Kuning, Kecamatan Sungai Durian, yang menyebabkan sejumlah korban meninggal dunia dan luka-luka.
Sebanyak tujuh orang meninggal dunia tertimbun material tanah longsor dan banjir akibat curah hujan tinggi.
Selain menyebabkan puluhan korban jiwa, aktivitas tambang emas tanpa izin di kawasan hutan lindung tersebut menyalahi aturan pemerintah layak untuk ditutup.
Aktivitas tambang emas di Kura-Kura I dan II serta di Puncak atau Gunung Putri juga mendatangkan banyak dampak buruk, antara lain, muncul dan berkembangnya prostitusi di kawasan tambang tersebut.
Perzinaan itu menyasar pekerja tambang dan warga lain yang berada di komunitas tersebut. Warung-warung makanan dan minuman di sekitar lokasi tidak jauh dari lokasi tambang menjadi tempat transaksi tersebut.
Peredaran narkotika dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang (narkoba) juga muncul saat warga mendapatkan uang dari hasil menambang emas secara ilegal tersebut. Dengan dalih untuk menjaga stamina dan semangat bekerja, para pekerja yang memiliki uang membeli narkoba untuk dikonsumsi.
Belum lagi aksi premanisme dan aktivitas negatif lainnya terjadi di lokasi tersebut. Lokasi tersebut bahkan menjadi tempat tujuan atau pelarian bagi orang-orang yang bermasalah di daerahnya.
Prostitusi, peredaran narkoba, dan premanisme hampir tidak bisa dipisahkan di kala warga mempunyai pendapatan berlebih namun jauh dari pengawasan.
Polisi ketika menggelar razia menemukan sejumlah barang bukti berupa sabu-sabu, sejumlah peluru, dan senjata api rakitan di lokasi tersebut.
Tidak tahu pasti kapan aktivitas prostitusi, peredaran narkoba, dan premanisme tersebut mulai terjadi, yang pasti sejak kawasan hutan lindung tersebut dijamah warga untuk menambang emas maka masalah tersebut bermunculan.
Penambangan emas secara tradisional yang dilakukan manual dan tanpa izin tersebut, menurut warga, terjadi sekitar tahun 1997-1998. Kegiatan ilegal ini sulit dijangkau karena lokasinya jauh dari permukiman penduduk di Kecamatan Sungai Durian.
Tambang emas di kawasan hutan lindung tersebut hanya bisa dituju menggunakan sepeda motor trail karena medannya berat, berbukit, dan terjal.
Berkendara roda dua tidak bisa masuk ke lokasi langsung, tetapi harus berhenti di tepian sungai dan dilanjutkan dengan berjalan kaki hingga berjam-jam.
Selama perjalanan tidak bisa dengan cara bergegas tetapi harus pelan dan berhati-hati karena ada jurang dan gunung terjal sehingga saat berjalan, lutut menyentuh dagu.
Tambang ditutup
Dengan tujuan meraup emas, warga dari berbagai daerah berbondong-bondong mengadu nasib mendulang emas secara ilegal di daerah tersebut.
Ribuan warga datang dari kabupaten dan kota di Kalsel, Kapuas Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia.
Mereka menambang dengan cara manual, menggali tanah dengan peralatan sederhana, seperti menggunakan cangkul, linggis, sekop, dan yang lainnya.
Mereka memulai aktivitasnya dengan menggali tanah membentuk sumur dengan kedalaman bervariasi. Selanjutnya di dalam galian tersebut digali lagi hingga membentuk gua lebar.
Cara menambang seperti itulah yang membuat berbahaya karena sewaktu-waktu lahan bisa longsor apabila curah hujan tinggi atau terjadi pergerakan tanah.
Tanpa memakai peralatan keselamatan standar, para penambang menjalankan menggali tanah untuk dimasukkan ke dalam tong-tong yang sudah disiapkan.
Tong-tong yang sudah penuh dengan tanah atau pasir bercampur kerikil dari dalam galian tersebut selanjutnya diisi merkuri dan sianida.
Penggunaan campuran dua jenis bahan kimia itu adalah untuk mengikat serbuk-serbuk atau butiran-butiran emas yang bercampur di tanah, pasir, dan kerikil.
Air bekas campuran kimia berbahaya itu selanjutnya dibuang sembarangan dan mengalir ke sungai di sekitar lokasi tambang tersebut.
Sungai-sungai tersebut saat turun hujan mengalirkan air hingga ke Sungai Kikil dan masuk ke Sungai Manunggul.
Sementara, di bagian hilir sungai, sebagian masyarakat di wilayah Kecamatan Sungai Durian memanfaatkan air tersebut untuk keperluan sehari-hari.
Camat Sungai Durian Rahmad khawatir air bekas pemrosesan emas tersebut mengalir hingga sungai yang airnya dimanfaatkan warganya.
Guna menyelamatkan warga dari konsumsi air sungai berbahaya, penutupan aktivitas tambang emas ilegal menjadi keharusan. Apalagi akibat penambangan serampangan tersebut juga menelan banyak korban jiwa.
Penutupan tambang emas ilegal secara tradisional di lokasi hutan lindung juga akan menghilangkan pencemaran air sungai dari polusi logam berat dan berbahaya.
Ketua DPRD Kabupaten Kotabaru Syairi Mukhlis mendukung kebijakan yang diambil pemerintah bersama tim terpadu menutup lokasi tambang emas di Desa Bulu Kuning, Kecamatan Sungai Durian.
Saat ini lokasi tambang emas tanpa izin di sekitar Desa Bulu Kuning Kecamatan Sungai Durian memang sudah ditutup. Keputusan pemerintah tersebut tepat untuk menyelamatkan masyarakat, lingkungan, dan penambang itu sendiri.
Penutupan tersebut merupakan antisipasi pemerintah agar tidak ada lagi korban jiwa akibat penambang tertimbun longsor. Banyak pihak dirugikan akibat penambangan emas tanpa izin tersebut.
Masyarakat Sungai Durian mengapresiasi kehadiran pemerintah dengan aksi nyata menutup tambang emas ilegal.
Tugas selanjutnya, aparat pemerintah harus tetap mengawasi lokasi tambang agar tidak kembali dijadikan lokasi perburuan emas ilegal.
Sekalipun manis, keberadaan sarang emas yang membahayakan banyak orang tersebut memang harus ditutup sebelum kembali mengundang maut.[ss]