Kalsel.WahanaNews.co, Barabai, Hulu Sungai Tengah - Pakar Komunikasi Politik dan Kebijakan Publik Universitas Al Azhar Indonesia, MS Shiddiq, meminta pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, dibenahi penyelenggara dan pengawasnya, setelah hakim memvonis tiga pegawai kontrak pemda setempat terlibat politik uang.
“Ada potensi penyalahgunaan aparatur negara di Kabupaten HST karena terbukti pegawai kontrak terlibat politik uang Pilkada 2024,” kata Shiddiq di Barabai, Hulu Sungai Tengah, Jumat (17/1/2025).
Baca Juga:
Hakim MK Heran, Cabup di Sulut Bagi-bagi Buku ke Anak SD
Sebagai akademisi, Shiddiq mengamati diberikannya vonis bersalah tiga pegawai kontrak Pemkab HST oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Barabai, Kabupaten HST, pada beberapa hari lalu.
Tiga pegawai Pemkab HST itu, yakni Akhsanul Halikin dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider kurungan 15 hari karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 187 A ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dua pegawai lainnya, yakni Riansyah dan Yusuf, juga terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal yang sama, namun hanya dijatuhi hukuman percobaan penjara 1 tahun dan denda sebesar Rp200 juta subsider kurungan 30 hari.
Baca Juga:
Hakim Pengadilan Ronald Tannur Ajukan Keberatan, Minta Aset di Deposit Box Dikembalikan
Namun, pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama satu tahun berakhir.
Shiddiq mengatakan barang bukti berupa 742 lembar amplop berisi uang yang didistribusikan untuk mempengaruhi pemilih menunjukkan bahwa politik uang masih menjadi strategi yang digunakan untuk memenangkan kandidat tertentu di daerah ini.
Dengan barang bukti yang lebih banyak, Akhsanul dianggap memainkan peran lebih besar untuk mempengaruhi hasil Pilkada, karena mendapatkan hukuman tiga tahun penjara, ini merupakan penerapan tegas dari undang-undang memberikan efek jera.
Namun, kata Shiddiq, hukuman hanya percobaan kepada Riansyah dan Yusuf dapat menimbulkan persepsi bahwa hukuman tersebut kurang memberikan dampak signifikan dalam mencegah politik uang pada masa depan.
"Meskipun hukuman ini sah secara hukum, masyarakat dapat menginterpretasikan bahwa pelaku dengan peran kecil atau tingkat keterlibatan tertentu dapat lolos dari hukuman berat,” tuturnya.
Menurutnya, dengan terlibatnya pegawai kontrak pemerintah daerah sebagai pelaku utama, kasus ini menjadi perhatian karena mencerminkan potensi penyalahgunaan aparatur negara untuk tujuan politik praktis.
Pakar politik lulusan Universitas Al Azhar Indonesia ini menilai perlu sebuah gebrakan besar untuk menghindari pengulangan kasus serupa melalui langkah-langkah pencegahan secara komprehensif melibatkan pemerintah dan masyarakat.
Shiddiq mengatakan beberapa gebrakan penting tersebut, yakni mengkaji dan membenahi program sosialisasi politik bagi masyarakat yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih. Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami bahwa politik uang merugikan mereka dalam jangka panjang, sosialisasi yang intensif oleh KPU, Bawaslu, dan organisasi masyarakat sipil dapat membantu membangun kesadaran ini.
Kemudian, penguatan dan pembenahan pengawasan terhadap Pilkada harus menjadi prioritas, Bawaslu perlu memperluas jaringan pengawasan berbasis masyarakat untuk mendeteksi praktik politik uang secara dini, dengan sistem pelaporan yang mudah diakses oleh masyarakat dapat meningkatkan partisipasi publik dalam melaporkan pelanggaran.
Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan adil juga sangat diperlukan, vonis terhadap pelaku politik uang harus konsisten dan memberikan efek jera yang nyata. Kasus ini seharusnya menjadi preseden hukum yang jelas bahwa pelanggaran Pilkada tidak akan ditoleransi.
“Yang tidak kalah penting adalah transparansi proses hukum terhadap pelaku politik uang, ini akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum,” kata Shiddiq, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Kalimantan.
Menurut dia, politik uang adalah ancaman nyata terhadap demokrasi, terutama di tingkat lokal seperti Kabupaten HST karena dapat merusak prinsip-prinsip keadilan dan kompetisi sehat dalam Pilkada. Dengan memberikan insentif finansial kepada pemilih, politik uang mengaburkan hakikat demokrasi sebagai proses memilih berdasarkan visi, program, dan rekam jejak kandidat.
Kasus di HST ini juga menunjukkan bahwa politik uang dapat memperburuk ketimpangan sosial dan politik, pemilih dengan kondisi ekonomi rentan cenderung lebih mudah tergiur oleh iming-iming uang tunai, yang akhirnya membentuk pola pemilihan berdasarkan keuntungan sesaat, bukan kepentingan jangka panjang.
“Pola ini menciptakan lingkaran setan di mana kandidat yang terpilih melalui politik uang cenderung fokus pada pengembalian modal daripada pelayanan publik yang berkualitas,” ungkap Shiddiq.
Oleh karena itu, kata dia, langkah-langkah seperti peningkatan pengawasan, edukasi politik, dan pemberian sanksi tegas harus dilaksanakan secara menyeluruh, karena Provinsi Kalsel merupakan wilayah dengan dinamika politik yang tinggi membutuhkan pendekatan yang lebih sistematis untuk memastikan bahwa demokrasi berjalan sesuai prinsip keadilan dan transparansi.
“Upaya preventif kepada masyarakat, penguatan pengawasan, dan penegakan hukum harus diperkuat. Kasus politik uang di HST memberikan pelajaran penting bagi daerah lain di Kalimantan Selatan untuk menjaga integritas Pilkada sebagai bagian dari pembangunan demokrasi yang lebih baik,” ujar Shiddiq.
Sementara itu, Ketua Bawaslu HST Nurul Huda mengatakan dalam pengawasan politik uang, pihaknya melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) menerima lima laporan terkait politik uang yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon (Paslon) pada Pilkada HST 2024.
Seiring proses penanganan laporan itu berjalan, tiga laporannya diantaranya dapat ditindaklanjuti karena dinilai memenuhi unsur dugaan tindak pidana sesuai pasal 187A ayat (1) dan (2) Juncto pasal 73 ayat (4) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Selanjutnya, proses hukum pun berjalan di kepolisian, lalu kejaksaan hingga disidangkan di PN Barabai dan telah vonis.
“Dalam penanganan ini, kami telah bekerja secara profesional dan sesuai asas netralitas berdasarkan undang-undang yang berlaku,” kata Nurul.
[Redaktur: Patria Simorangkir/Antara]