WahanaNews-Kalsel | Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, mengatakan, harga pupuk dunia telah mengalami kenaikan, bahkan sebelum perang Rusia dengan Ukraina.
Andreas menyebut, harga pupuk yang berbasis nitrogen, seperti urea, naik 300% atau tiga kali lipat pada tahun lalu.
Baca Juga:
Pangkas 145 Regulasi, Kebijakan Distribusi Pupuk Langsung Ke Petani Dinilai Tepat
"Sebelum perang Rusia-Ukraina itu sebenarnya sudah meningkat cukup tajam. Sampai Oktober; harga urea itu sudah tiga kali lipat dari Mei sampai November 2021," ujar Andreas, saat dihubungi wartawan di Jakarta, Selasa (5/4/2022).
Andreas menyampaikan, kenaikan harga pupuk dunia relatif begitu cepat dalam 1,5 tahun terakhir.
Tak hanya urea, lanjut Andreas, kenaikan juga terjadi pada pupuk diamonium fosfat yang baik 2,6 kali lipat dari Mei 2020 hingga Oktober 2021.
Baca Juga:
Mendagri Apresiasi Perjuangan Mentan Amran Tambah Alokasi Pupuk
Andreas mengatakan, kenaikan harga pupuk dunia tak lepas dari meningkatnya harga gas alam menyusul tingginya kebutuhan gas di Eropa saat musim dingin tiba.
"Saya melihat ini sebuah fenomena yang mana kenaikan harga salah satu komoditas diikuti kenaikan komoditas lainnya. Kita tahu komoditas pangan dalam 1,5 tahun meningkat sangat tajam," ucap Andreas.
Andreas menyampaikan kenaikan harga pupuk dunia juga berdampak pada anggaran subsidi.
Para produsen pupuk, ucap Andreas, mau tak mau mengikuti harga pasar untuk mendapatkan keuntungan.
Andreas menilai pilihan mengurangi margin tampak sulit lantaran naiknya harga gas alam.
"Tergantung pemerintah subsidi gas alam atau tidak. Jadi memang kondisinya agak repot," lanjut Andreas.
Andreas menyampaikan harga pupuk dunia semakin tertekan menyusul terjadinya perang Rusia-Ukraina.
Andreas menilai posisi Rusia sebagai produsen pupuk terbesar di dunia membuat pengaruh perang berdampak pada perdagangan pupuk di internasional.
"Karena pupuk terbatas, maka cuma ada dua pilihan, petani mengurangi kebutuhan pupuk yang akan berefek ke produksi atau sebaliknya, petani tetap beli pupuk dengan diikuti peningkatan biaya produksi," kata Andreas.
Sementara itu, Advisory Board Indonesia Fertilizer Research Institute (IFRI), Sumarjo Gatot Irianto, menilai tingginya harga pupuk nonsubsidi dapat diminimalisasikan dampaknya dengan keputusan subsidi pupuk hanya berlaku pada Urea dan NPK.
Menurut dia, peningkatan produksi pupuk bisa menjadi substitusi di tengah tingginya harga.
"Dengan fokus pada Urea dan NPK, maka pemerintah secara konsisten menambah volume pupuk bersubsidi. Varian pupuk lainnya diserahkan kepada tingkat kebutuhan petani setempat," kata Sumardjono. [Ss]