WahanaNews-Kalsel | Tim kajian Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat menggelar studi inventarisasi keragaman anggrek dan potensi pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan oleh masyarakat adat di Pulau Batanta, salah satu dari 4 pulau terbesar di Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.
Studi yang dilaksanakan sejak pertengahan Maret lalu itu berkolaborasi dengan peneliti anggrek dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Destario Metusala.
Baca Juga:
Aktivis HAM Esra Mandosir Meninggal Dunia, LP3BH Manokwari Sebut Kematiannya Diduga Tidak Wajar
Studi dipusatkan di Cagar Alam Batanta Barat yang berada di bagian barat Pulau Batanta, yang digunakan untuk penelitian maupun perlindungan biodiversitas dan ekosistemnya.
Menurut petugas Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) yang jadi anggota tim BBKSDA, Reza Saputra, tim mendapatkan pelbagai temuan.
Salah satu temuan penting yang diperoleh adalah keberadaan 90 spesimen bunga anggrek di Pulau Batanta.
Baca Juga:
Delegasi Terpukau Bali saat Kunjungan Wisata Akhir World Water Forum ke-10
Reza mengatakan sebagian anggrek yang ditemukan masih dalam proses identifikasi untuk memastikan nama spesiesnya.
Sedangkan anggrek lainnya ditemukan dalam kondisi tanpa bunga sehingga harus ditunggu sampai berbunga untuk memastikan spesiesnya.
“Spesimen anggrek yang tanpa bunga harus dipelihara terlebih dahulu hingga berbunga agar dapat diidentifikasi lebih lanjut secara akurat,” kata Reza Saputra, dalam keterangan tertulis yang diterima pada Sabtu sore, 26 Maret 2022.
Menurut Reza, lokasi temuan spesies baru anggrek di Pulau Batanta mempunyai berbagai tipe ekosistem yang masih sangat alami, mencakup ekosistem pantai, hutan hujan tropis, dataran rendah, hingga hutan pegunungan bahwa di ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut.
Destario Metusala alias Rio menjelaskan, salah satu spesies anggrek yang ditemukan ialah Dendrobium cuneatum di Pulau Batanta.
Anggrek ini merupakan temuan baru karena sebelumnya anggrek dengan bunga kecil berwarna kehijauan ini hanya ditemukan di wilayah Sulawesi dan Maluku.
“Temuan spesies anggrek Dendrobium cuneatum di Pulau Batanta akan menambah informasi baru terkait jangkauan distribusi alaminya yang ternyata melewati zona Wallacea dan mencapai zona biogeografi Australasia,” kata Rio kepada Tempo.
Temuan berharga lainnya, tim mendapati anggrek akar Taeniophyllum torricellense.
Spesies anggrek ini pernah ditemukan di Pulau San Cristobal, Kepulauan Solomon, serta pegunungan Torricelli di Papua Nugini.
Tim juga menemukan anggrek epifit (anggrek yang tumbuh menumpang pada tumbuhan lain yang disebut inang tapi tidak bersifat parasit) Dendrobium incumbens yang sebelumnya cuma ditemukan Distrik Sepik dan Distrik Morobe, Papua Nugini.
“Penemuan anggrek Taeniophyllum torricellense dan Dendrobium incumbens ini saja sudah menambah jumlah keanekaragaman spesies anggrek di Indonesia. Kami sedang mengindentifikasi anggrek-anggrek lainnya untuk memperdalam kajian supaya mudah mengetahui keanekaragaman anggrek di sana,” ujar Rio.
Reza Saputra menambahkan lagi, selain melakukan studi untuk pengumpulan dan penyusunan data anggrek, tim pun melakukan penelitian botani di Pulau Batanta. Penelitian botani jarang dilakukan di sana.
Tim mengobservasi serta merekam upaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan oleh masyarakat adat.
Penelitian ini sangat penting lantaran populasi suku Batanta cukup terbatas dan umumnya terkonsentrasi di tiga kampung di bagian selatan Pulau Batanta, yakni Yenanas, Waiman, dan Wailebet.
Hasil observasi sementara memperlihatkan lebih dari 100 jenis tumbuhan digunakan masyarakat adat untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, pangan lokal, pakaian, upacara tradisional, kerajinan, perlengkapan rumah, bangunan, hingga material untuk membuat perahu.
“Dari berbagai sampel tumbuhan yang kami kumpulkan dan dicatat, masih menggunakan nama lokal dari bahasa Batanta atau Batta,” kata Reza.
Sebagai contoh, masyarakat adat Batanta mempunyai kearifan tradisional berupa pemanfaatan tumbuhan wilgelfun, yang bernama ilmiah bernama Coscinium fenestratum, sebagai obat malaria, sakit mata, gangguan pencernaan, serta letih.
Tumbuhan teliih atau Terminalia catappa yang banyak tumbuh liar di pesisir biasa digunakan untuk mengobati luka terbuka, gangguan pecernaan, dan diare.
Saat ini, tim peneliti sedang mengindentifikasi semua temuan botani untuk mengetahui nama ilmiahnya. Cara ini akan memudahkan tim memperdalam kajian. [ss/rin]