WahanaNews-Kalsel | Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini memprediksi problematik pada pemilihan umum sebelumnya bakal terjadi lagi pada Pemilu 2024, termasuk praktik politik uang seperti jual beli tiket pencalonan (candidacy buying) dan jual beli suara (vote buying), yang berpotensi terjadi pada pemilu mendatang.
"Begitu pula terkait dengan basa-basi laporan dana kampanye. Politik berbiaya tinggi yang tidak akuntabel, yakni kontestasi mahal tetapi tidak tergambar dalam laporan dana kampanye," kata Titi Anggraini pada acara Refleksi Akhir Tahun 2021 bertajuk Dinamika Ketatanegaraan dan Kepemiluan Indonesia secara daring.
Baca Juga:
Pemohon Uji Materi UU Pemilu Desak Percepatan Pelantikan Presiden Terpilih
Acara via YouTube ini digelar di Semarang, Kamis sore, diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) dan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Titi juga menyampaikan sejumlah problematik lainnya yang berpotensi berulang pada pemilu mendatang yang pelaksanaannya bersamaan dengan pemilihan kepala daerah di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota, yakni otonomi/kemandirian penyelenggara pemilu, akurasi/validitas daftar pemilih tetap (DPT), dan netralitas aparatur sipil negara/birokrasi.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini lantas menyebutkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait dengan ambang batas pencalonan presiden, kemudian syarat calon perseorangan yang makin berat, hegemoni dewan pimpinan pusat (DPP) dalam pencalonan pilkada dan ongkos politik yang makin mahal.
Baca Juga:
Mahfud MD: Saya Lebih Baik dari Prabowo-Gibran, tetapi Rakyat Lebih Percaya Mereka
Di sisi lain, lanjut dia, disparitas yang makin senjang dan terbuka antara sikap pembuat undang-undang dan aspirasi publik terkait dengan pengaturan pemilu demokratis, seperti pembatalan revisi UU Pemilu dan pelanggengan ambang batas pencalonan presiden.
Kendati demikian, pegiat pemilu ini menilai demokrasi elektoral Indonesia secara prosedural makin baik. Namun, fenomena kehadiran hambatan yang makin berlapis untuk mengakses kompetisi pemilu/pilkada yang bebas, adil, dan setara (multiple barriers to entry phenomena).
Pada kesempatan itu, Titi menyampaikan sejumlah rekomendasi, antara lain terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 16/PUU-XIX/2021 yang memberi ruang pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum dapat menyepakati adanya jeda waktu antara pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/Kota dan Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, serta Pemilu Presiden/Wakil Presiden.
"Perlu pula dielaborasi dan dipertimbangkan serius sebagai pilihan untuk mengurai beban dan kompleksitas pemilu," kata Titi yang pernah terpilih sebagai Duta Demokrasi mewakili Indonesia dalam International Institute for Electoral Assistance (International IDEA).
Rekomendasi lainnya, memperpanjang masa jabatan penyelenggara pemilu di provinsi dan kabupaten/kota setidaknya sampai dengan akhir tahapan Pilkada 2024. Namun, kata Titi, memerlukan perubahan UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
"Hal ini bisa dilakukan melalui revisi terbatas ataupun penerbitan Perpu Pemilu," kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Hal lain yang tidak kalah pentingnya, menurut dia, rekrutmen penyelenggara pemilu harus keluar dari stigma pragmatis dan banyaknya kelindan kepentingan sektarian.
"Berikanlah penyelenggara pemilu terbaik untuk Indonesia. Mereka yang independen, imparsial, berintegritas, profesional, dan berorientasi pelayanan," ujarnya. [As]