La Nina yang sudah dimulai sejak Juni 2020 memiliki potensi terus berlanjut hingga 2022.
Jika kondisi ini terjadi, maka selama tiga tahun berturut-turut wilayah Indonesia akan mengalami La Nina sebagaimana pernah terjadi pada tahun 2010-2012 yang tercatat sebagai kemarau basah terpanjang dengan dampak kejadian bencana hidrometeorologi tertinggi di Indonesia selama dua dekade terakhir berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Baca Juga:
BMKG Ingatkan Sejumlah Daerah Siaga Hujan Lebat 5-11 Juli 2024
"Faktor kedua adalah potensi terbentuknya fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif pada periode kemarau tahun ini yang dapat memengaruhi sifat basah khususnya untuk wilayah di barat Indonesia," lanjut Erma.
Potensi IOD negatif ini dapat mengakibatkan berlanjutnya sifat basah selama periode kemarau bahkan juga selama periode sesudahnya.
Peluang terbentuknya IOD negatif ini ditunjukkan oleh model dinamik milik badan meteorologi Australia.
Baca Juga:
BMKG Pangsuma Imbau Waspada Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang di Kapuas Hulu
"Ketiga pembentukan vorteks di Samudra Hindia selatan ekuator bagian tenggara dekat dengan sektor Sumatra dan Jawa yang memiliki kecenderungan bersifat persisten," sebut Erma.
Vorteks di selatan Samudra Hindia ini sekaligus menandakan pembentukan wilayah konvergensi di barat Indonesia sehingga memicu pertumbuhan awan pada skala lokal dan harian sehingga proses pembentukan hujan selama musim kemarau masih dapat terus berlangsung.
Faktor Keempat dan Kelima