Reza Saputra menambahkan lagi, selain melakukan studi untuk pengumpulan dan penyusunan data anggrek, tim pun melakukan penelitian botani di Pulau Batanta. Penelitian botani jarang dilakukan di sana.
Tim mengobservasi serta merekam upaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan oleh masyarakat adat.
Baca Juga:
Aktivis HAM Esra Mandosir Meninggal Dunia, LP3BH Manokwari Sebut Kematiannya Diduga Tidak Wajar
Penelitian ini sangat penting lantaran populasi suku Batanta cukup terbatas dan umumnya terkonsentrasi di tiga kampung di bagian selatan Pulau Batanta, yakni Yenanas, Waiman, dan Wailebet.
Hasil observasi sementara memperlihatkan lebih dari 100 jenis tumbuhan digunakan masyarakat adat untuk berbagai keperluan, mulai dari obat-obatan, pangan lokal, pakaian, upacara tradisional, kerajinan, perlengkapan rumah, bangunan, hingga material untuk membuat perahu.
“Dari berbagai sampel tumbuhan yang kami kumpulkan dan dicatat, masih menggunakan nama lokal dari bahasa Batanta atau Batta,” kata Reza.
Baca Juga:
Delegasi Terpukau Bali saat Kunjungan Wisata Akhir World Water Forum ke-10
Sebagai contoh, masyarakat adat Batanta mempunyai kearifan tradisional berupa pemanfaatan tumbuhan wilgelfun, yang bernama ilmiah bernama Coscinium fenestratum, sebagai obat malaria, sakit mata, gangguan pencernaan, serta letih.
Tumbuhan teliih atau Terminalia catappa yang banyak tumbuh liar di pesisir biasa digunakan untuk mengobati luka terbuka, gangguan pecernaan, dan diare.
Saat ini, tim peneliti sedang mengindentifikasi semua temuan botani untuk mengetahui nama ilmiahnya. Cara ini akan memudahkan tim memperdalam kajian. [ss/rin]