Tidak tahu pasti kapan aktivitas prostitusi, peredaran narkoba, dan premanisme tersebut mulai terjadi, yang pasti sejak kawasan hutan lindung tersebut dijamah warga untuk menambang emas maka masalah tersebut bermunculan.
Penambangan emas secara tradisional yang dilakukan manual dan tanpa izin tersebut, menurut warga, terjadi sekitar tahun 1997-1998. Kegiatan ilegal ini sulit dijangkau karena lokasinya jauh dari permukiman penduduk di Kecamatan Sungai Durian.
Baca Juga:
BPBD Kabupaten Solok Konfirmasi 15 Orang Tewas Akibat Longsor Eks Tambang Emas
Tambang emas di kawasan hutan lindung tersebut hanya bisa dituju menggunakan sepeda motor trail karena medannya berat, berbukit, dan terjal.
Berkendara roda dua tidak bisa masuk ke lokasi langsung, tetapi harus berhenti di tepian sungai dan dilanjutkan dengan berjalan kaki hingga berjam-jam.
Selama perjalanan tidak bisa dengan cara bergegas tetapi harus pelan dan berhati-hati karena ada jurang dan gunung terjal sehingga saat berjalan, lutut menyentuh dagu.
Baca Juga:
Sebongkah Harapan Gadis Yatim Piatu Melihat Kembali Indahnya Dunia
Tambang ditutup
Dengan tujuan meraup emas, warga dari berbagai daerah berbondong-bondong mengadu nasib mendulang emas secara ilegal di daerah tersebut.
Ribuan warga datang dari kabupaten dan kota di Kalsel, Kapuas Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia.
Mereka menambang dengan cara manual, menggali tanah dengan peralatan sederhana, seperti menggunakan cangkul, linggis, sekop, dan yang lainnya.