Wiluyo menuturkan, teknologi co-firing ini dilakukan PLN tak sekedar mengurangi emisi.
Melalui pemberdayaan masyarakat, teknologi co-firing ini juga mengajak masyarakat terlibat aktif dalam penanaman tanaman biomassa bahkan ada pula yang mengelola sampah rumah tangga wilayahnya untuk dijadikan pelet untuk bahan baku co-firing.
Baca Juga:
Transformasi Digital PLN 123 Diakui Dunia, Sabet 8 Gold Award di Asia Pasifik
"Teknologi ini bukan hanya sekadar pengurangan emisi, tetapi ada unsur ekonomi sirkular yang mengolah limbah menjadi sesuatu yang lebih bernilai dan meningkatkan efisiensi," tambah Wiluyo.
Misalnya saja masyarakat turut berpartisipasi dalam pemilahan sampah ataupun pemberdayaan tanaman energi yang akan diolah untuk bahan baku co-firing.
Co-firing ini juga sebagai langkah jangka pendek yang dilakukan PLN dalam mengurangi emisi karbon, sebab program co-firing tidak memerlukan investasi untuk pembangunan pembangkit baru dan hanya mengoptimalkan biaya operasional untuk pembelian biomassa.
Baca Juga:
Srikandi PLN UID Jawa Barat Ajak Anak Disabilitas Nikmati Alam Tahura, Tebarkan Energi Kebahagiaan
"Program ini ditargetkan rata-rata menggunakan 10-20 persen dari kapasitas PLTU PLN untuk co-firing atau ekivalen sekitar 2.700 MW," ujar Wiluyo.
Program co-firing ini terus dilakukan PLN sampai paling tidak 52 titik PLTU bisa menggunakan teknologi ini.
Untuk bisa memastikan pasokan co-firing ini, secara jangka panjang PLN juga melakukan kerja sama dengan Perhutani dan PTPN.