Menurut dia, politik uang adalah ancaman nyata terhadap demokrasi, terutama di tingkat lokal seperti Kabupaten HST karena dapat merusak prinsip-prinsip keadilan dan kompetisi sehat dalam Pilkada. Dengan memberikan insentif finansial kepada pemilih, politik uang mengaburkan hakikat demokrasi sebagai proses memilih berdasarkan visi, program, dan rekam jejak kandidat.
Kasus di HST ini juga menunjukkan bahwa politik uang dapat memperburuk ketimpangan sosial dan politik, pemilih dengan kondisi ekonomi rentan cenderung lebih mudah tergiur oleh iming-iming uang tunai, yang akhirnya membentuk pola pemilihan berdasarkan keuntungan sesaat, bukan kepentingan jangka panjang.
Baca Juga:
Hakim MK Heran, Cabup di Sulut Bagi-bagi Buku ke Anak SD
“Pola ini menciptakan lingkaran setan di mana kandidat yang terpilih melalui politik uang cenderung fokus pada pengembalian modal daripada pelayanan publik yang berkualitas,” ungkap Shiddiq.
Oleh karena itu, kata dia, langkah-langkah seperti peningkatan pengawasan, edukasi politik, dan pemberian sanksi tegas harus dilaksanakan secara menyeluruh, karena Provinsi Kalsel merupakan wilayah dengan dinamika politik yang tinggi membutuhkan pendekatan yang lebih sistematis untuk memastikan bahwa demokrasi berjalan sesuai prinsip keadilan dan transparansi.
“Upaya preventif kepada masyarakat, penguatan pengawasan, dan penegakan hukum harus diperkuat. Kasus politik uang di HST memberikan pelajaran penting bagi daerah lain di Kalimantan Selatan untuk menjaga integritas Pilkada sebagai bagian dari pembangunan demokrasi yang lebih baik,” ujar Shiddiq.
Baca Juga:
Hakim Pengadilan Ronald Tannur Ajukan Keberatan, Minta Aset di Deposit Box Dikembalikan
Sementara itu, Ketua Bawaslu HST Nurul Huda mengatakan dalam pengawasan politik uang, pihaknya melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) menerima lima laporan terkait politik uang yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon (Paslon) pada Pilkada HST 2024.
Seiring proses penanganan laporan itu berjalan, tiga laporannya diantaranya dapat ditindaklanjuti karena dinilai memenuhi unsur dugaan tindak pidana sesuai pasal 187A ayat (1) dan (2) Juncto pasal 73 ayat (4) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Selanjutnya, proses hukum pun berjalan di kepolisian, lalu kejaksaan hingga disidangkan di PN Barabai dan telah vonis.